BURUNG BANGKAI
(Noer Lutfi)
Kemarin burung bangkai
Berebut tulang-tulang kehidupan
Matahari menatap nanar sudut kota
Meneriakan suara
gemuruh
Menggulung seperti gelombang
Ada kebekuan Menekan
*
Hari ini burung bangkai
Berebut iga-iga masa lalu
Mendung menghadang matahari
Ada janji mengkristal di atas ranting
**
Esok burung bangkai
Mencuri telur-telur kehidupan
Membius impian semu
Bertransaksi kesepian
Mendulang kesunyian rasa pesimis.
Smg, 12 Mei 1994
PAK TUA DAN STICK GOLF
(Noer Lutfi)
Temaram lampu teplok dari gubug reot
Menjadi saksi tangis
Menjadi saksi teriakan histeris
Menjadi saksi suara-suara sumbang yang tak beraturan
Tendangan sepatu aparat mengenai ulu hati
Pukulan pak camat membirukan mata kiri
Tamparan muspika membuat dua gigi rontok
Segenggam tembakau dari puluhan putung rokok
Lintingan tersulut
Mengepul asap dari mulutnya
Menatap bintang jasa sisa revolusi
***
kenangan terlintas
padi menguning siap di panen
istri setia menunggu digubug
membawa kendi dan bakul nasi
dua anaknya berlari-lari dipematang
menirukan burung alap-alap
melayang dilangit biru
****
Demi pembangunan atas negeri ini
ia rela menjadi badut
mempropagandakan kemakmuran
adil dan merata
stick golf gantikan cangkul
terseok-seok memukul bola
terkapar ia ditanah
nafasnya hampir putus
dari mulutnya keluar dua bola putih
Smg, Agustus 1994
SERDADU TUA
(Noer Lutfi)
Serdadu tua bungkuk
menerawang langit
Seperti mata panah
Meluncur lembaran-lembaran usang
Ikrar penuhi ruangan kenduri
Pesta anak negeri pertanyakan
Kemerdekaan dibangunkan
untuk kedua kalinya
dari belenggu mimpi menyesatkan
Sebotol arak menepis dahaga
Tawa genit pelacur menempel dibenak
***
Serdadu tua bungkuk
Kepalkan tangan ke atas
Hirup sisa nafas keperkasaan
Kenangan tak meninggalkan kafan
Untuk dilukis kerabatnya
Menelusuri jejak-jejak kaki
Yang Terhapus air hujan
Cermin retak
Wajah Bopeng membuat batik
Catatan-catatan pengkhianatan
dari kegetiran nasib
***
Serdadu Tua menggelinding
Dari atas menuju lembah
Berputar menerjang ilalang
Melindas pohon hingga tumbang
Menghancurkan batu karang
Membelah gunung-gunung
Menguras samudra
Kini tlah lahir fiksi
Dari embrio hidup
Yang mereka puja
Sebagai hikayat ampuh sekelas mantra
Mereka lalai kebenaran
Yang kelak diwariskan
****
Serdadu tua berharap
menatap matahari di atas pelangi
ada cinta ditebarkan mendung
lewat rintik hujan
cinta berhembus dikolong jembatan
menemui anak kecil kelaparan
cinta menyapa aparat dengan bogem mentah
di muka maling kecil
cinta membelai hakim pincang
tersrimpung palu sendiri
cinta berbisik ditelinga ibu tua
“kamu tak secantik dulu”
cinta meniup di tempat pelacuran
bersama desah nakal
cinta masuk dipori-pori anak bangsa
kibarkan sang saka di langit biru
meski tlah kusam dan robek
ada cinta bersama kibasan-kibasanya.
10 November 1994LAGU LUGU BERLAGU
(Noer Lutfi)
Na..na..na..
Rasa saling se-iya sekata
Takkan lagi ada
Harapan Serumpun
saling memiliki sirna
Inikah kematangan diri
atau globalisasi dini
ego berkata hak
bernyanyi demokrasi
Na..na..na..
Di bumi para bidadari turun
berdemo telanjangkan diri
ini dada ranum yang disajikan surga
reguklah cawan ini
anggur dari sungai nirwana
sang dewa pun tanggalkan syahwat
di pagar-pagar pinggir jalan
lindung teduh di pohon Quldi
Na...na..na...
Masuklah ! Pintu kubuka lebar
inilah jalan keselamatan
mengajilah pada kejujuran hidup
renungkan ketulusan bola mata anakmu
sangsikan kebenaran
Na.. na..na..
bisakah kita duduk disini bersama
bincang esok
tentang anakmu
anakku
anak-anak kita
Skj 160505
DER LETZTE
(Noer Lutfi)
Mereka genggam bara
Di berikan padamu
Berjanji bukan menghakimi
hilang untuk diyakini
ada untuk didustai
Apakah terbukti lagumu
Menyentuh mereka
Nyanyian mereka
memekakkan telingamu
mereka paham betul keinginanmu
apakah sudah kau pahami
keinginan mereka.
**
Ketika pesta dirayakan
Kau rampas suara-suara mereka
Kau lontarkan menjadi peluru-peluru tajam
Setelah pesta usai
Kau lupakan suara-suara mereka
Kau jadikan peluru-peluru tumpul
tak mampu menembus
Angka-angka keberuntungan
***
Tiang-tiang itu mengantung
Bergesek
Bersentuhan
Hasilkan bunyi
mereka datangi mimpi-mimpimu
mereka cabuti bulu-bulumu
Smg, 040605
LANDUNG
(Noer Lutfi)
Musim orang sakit
Tersakiti
Nyanyian surga kunci telinga
terjang kelam
Rindang pohon jalang
Tumbang
Mereka Yang sehat
Bertanya pada yang merintih
Yang gila
Menertawai yang waras
Yang isi
Mengharapkan yang alpa
Yang sadar
Menginginkan terlena
***
Yang musnah
Yang punah
Yang lenyap
Yang senyap
Berdiri pada fajar
Diam
Sempit
Menelusup rona merah langit
Menyambut kau kembali
Menikmati lazuardi
Untuk Ber-Aku-aku lagi..
Kau reguk habis doa-doa
Atau bermeditasi menantang matahari
Skj140503
REDGLASS
(Noer Lutfi)
Roh kebebasan
Membelai pucuk-pucuk ilalang
Hentakan tarian cinta
Dendangkan pujian semesta
Ayolah melanting
Tembuslah langit biru
Duduklah disinggasananya
Iblis bernyanyi untukmu
Setan-setan menari
Orasi-orasi dipelacurkan
Berita TV, radio, koran-koran, dipelacurkan
Diskusi, seminar, rapat-rapat dipelacurkan
Ayat-ayat dipelacurkan
Agama dipelacurkan
Apalagi yang bisa dipelacurkan?
***
Pinjamkan kedua tanganmu
Pinjamkan kedua bola matamu
Pinjamkan kedua telingamu
Pinjamkan hidung dan mulutmu
Pinjamkan hatimu
Untuk melihat lampu-lampu zaman
Sentuhlah paling dalam
Rahasia ?
Rahasia Tuhan tlah dicuri
Ada yang menyekutukan Tuhan
Membangun tembok-tembok kekuasaan
Mengatur
Meramal nasib sahabatku
Skj, 140503
MAAF KAMI
(Noer Lutfi)
Tangis kesedihan
pernah diratapi Alexandrian Callimachus
pada jiwa-jiwa resah
Sampaikan maaf kami
Tak meneruskan nafasmu
Usia menggrogoti fisik
Tergambar dibenak
Wajah-wajah manis dirias tangis
Pralambang kembang hati dibejana romantis
Wajah-wajah sendu terbelenggu kata ragu
Coba ungkap rindu
Wajah-wajah kaku
Mirip kardus
Kadang mirip kaleng
Masuk dilini pertahanan
Berebut
Singkirkan
Wajah-wajah hipokrit
gunakan ambiguitas tak jelas
Hingga mata kami tak sanggup
Mengenali diri kami sendiri
Kemurungan jiwa
Tlah memusatkan kematian
Smg Januari 1998
OPERA TANDING #1
(Noer Lutfi)
Gelombang dasyat menghantam
Menggulung setiap sisi
Kikis ruang-ruang
Racuni soneta
Meletakan okestra di gudang tua
Dimana dikau nurani?
Masih singgahkah kau?
Atau dikau lari
Bersembunyi
Hindari tikaman suara-suara sumbang
***
Lubang terbuka
Alunan heroik bakar sukma
Menanti mangsa Siap disantap
Jeruji besi rapikan barisan
Membuat kalangan
Kekuatan beradu
Saling menjatuhkan
Mereka mati sia-sia
Ini rimba liar
Arena penjagalan massal
Kuasa didewakan
Kejujuran mulut-mulut pendusta
September 2002
OPERA TANDING #2
(Noer Lutfi)
Suara Bising Menyayat
Membuat luka bernanah
Gumpal aniaya
Ketidakberdayaan
Memutuskan urat nadi
Tak mampu lafalkan abjad negeri sendiri
Mau mereka bawa kemanakah negeri ini?
Hingga terlempar jauh
Terdampar di pulau buta tuli bisu
***
Nyaringkan nyali
hentakan irama apa saja
mengiringi ritual
tak menyodok mereka dipihak mana?
Kita bernyanyi anak negeri
September 2002
KIDUNG KINANTI 99
(Noer Lutfi)
Ora ono kang biso agawe tentrem ing ati
Kajobo yen siro biso manembah
Marang Gusti kang murbehing dumadi
Koyo dene wayangane
Rembulan ing wanci purnomo sidi
Kang katon ing sak jeroning
Banyu menep kang wening
(khoyun..khoyuning seto..khoyuning Qolbun 3x)
Pekat..
Langit bawa mendung berarak
Bintang enggan bercengkrama
Rintik jatuh basah tanahku
Lelahkah?
Angin menusuk pada ruang-ruang kalbu..
Jauh..!
berhembus di samudra cinta
Bidadari menari balet disinggasana rembulan
Meliuk-liuk
Hingga raja dan ratu bersemayam
Dipelaminan jiwa
Seruling malam cipta hening
Ijinkan kami terbang melintas
Menunggu fajar tiba…
Smg, 010199
AKU TAHU
(Noer Lutfi)
Aku tahu
Peluru tlah menembus
Membuat lubang menganga
Luka !
Perih !
Pada kesaksian mentari
kabarkan cerita mati
Hitam-putih
Gelombang meneriakan kebebasan
Meskipun angin murung
Tak mampu bercerita lagi
Anak bangsa tersudut lesu
Terpleset dari gerbong
antarkan mimpi warna pelangi
Tersesat di rimba
Meloncat-loncat
Memetik buah
dari perjalanan sejarah bangsa
***
Aku tahu
Peluru tlah menembus
Membuat lubang menganga
Luka !
Perih !
Dewi langit tlah usai menangis
Mengguyur sayatan
Semakin perih
Pertiwi tak lagi bersenandung
Tembangkan kidung
Bangunkan pagi
atau
Menidurkan malam
Membisu
Terdengar derap langkah
Sepatu-sepatu boots
Menghantam
Menendang
Membuat gerimis
Dari tangis teraniaya
seperti irama menjemput kematian
***
Laras senapan memberi komando
intruksi
Robohkan
Injak
Dan lupakan
Berpadu teriakan-teriakan
Yang memilukan
Aku tahu
Peluru tlah menembus
Membuat lubang menganga
Luka !
Perih !
Skj,190804
DAUN KAMI
(Noer Lutfi)
Ketika angin berhembus
Menyibak dedaunan
Tembang Mistik dilantunkan memilu
Menepilah…
Aku mau lewat
biarkan kami melayang
Menembus…lubang-lubang untuk bernafas
Sebab kami terperangkap di ruang hampa
Bergoyanglah daunku
Biarkan yang rontok bercerita
Bahwa kami pernah bersatu menciptakan hijau
Meski kini kering tak memberi sejuk
Tapi pernah menggores catatan
pada batangmu yang mulai rapuh
***
benih-benih yang aku sebarkan
mulai tumbuh menjadi tunas-tunas
siap menerjang pilar-pilar yang menghadang
biarkan akar itu menjalar
di sisi ruas-ruas jalan
di sudut-sudut
biarkan kami yang bicara..
biarkan kami yang mengantarmu
untuk menemui mentari..
di nafasmu terletak martabat bangsa
tarik
hembuskan sesuai irama yang bergulir
ikuti hentakan jaman
Smg, Januari 1998
SORE ITU….
(Noer Lutfi)
Sore itu hujan belum reda
Bocah kecil bertopang dagu
Kerempeng bertelanjang dada
Rambutnya basah Menahan lapar
Berlari merebut tas hitam milik Nyonya gendut
“Copet..copet..” kening bocah berdarah dihantam
Sang nyonya menghardik
Dipukuli bocah itu dengan sandal kulit
Yang harganya sama dengan dua kali nyawa maling kecil
Sang nyonya jengkel
Diinjak tangannya dengan tumit sandal kulit
Yang harganya sama dengan samudra tangis maling kecil
Sang nyonya semakin kalap
Ditendang perut dengan pucuk sandal kulit
Yang harganya sama dengan rintih lapar maling kecil
Bocah itu terkapar lemas
Mulutnya tersumpal dua puluh ribuan
“Selamat Sore Tuhan” cerita telah berlangsung
sepotong doa terselip dimulutnya
Ia tulis
“Aku ingin bertanya pada-Mu Tuhan? Aku terlahir hanya sebagai pelengkap saja. Aku dijadikan yang selalu serba salah dan kalah. Dimanakah Dikau Tuhanku? Inikah keadilanMu Tuhan?
Kenapa aku harus memiliki rasa? Kenapa Dikau tak membelaku?”
***
Bocah kecil itu mati
Didekat tong sampah halte Bus
Sementara Kota dan lalu lalangnya
Melanjutkan cerita
Sore itu hujan belum reda
Smg, Mei 1994
TRANSISI
(Noer Lutfi)
Tumbuh kembang bakung menghias sudut ruang senja itu
terbaring tubuhmu luluhkan batin di keheningan waktu
terlepas benih iba saat menatap garis-garis diwajahmu
tergores pahit luka masa lalu
langkahmu pelan tak setegar dahulu
kini hanya namamu dan sepotong dongeng
dari hari-hari lalumu
***
Bintangmu terasa berat membawa beban hidup
Terbelenggu dalam diam
Tenggelam bersama tumbuhnya tunas baru
Kematian adalah pembebasan
Dimana lingkaran itu mulai pecah?
Entahlah?
Kudus, April 1994
ANGSANA DIRI SOCA
(Noer Lutfi)
Biarkan aku lebur di warna semu
Biarkan aku hancur bersama kehangatan nafasku
Biarkan aku berteriak dengan pikiranku
Biarkan aku menari dengan mulutku
Biarkan aku mencium dengan mataku
Biarkan aku menatap dengan hidungku
Dan biarkan aku apa saja dengan aku-ku sendiri
Aku biarkan angan liar menjilat-jilat ruang dan waktu
Meski darahku keluar dari mataku
Meski ingusku keluar dari mataku
Meski maniku keluar dari mataku
Meski curekku keluar dari mataku
Meski taiku keluar dari mataku
Biar aku bebas melayang
Smg, Desember 1997
DUKA LUKA-LUKA
(Noer Lutfi)
Masih banyak luka yang harus disembuhkan
Luka kita semakin membusuk
Tertutup kulit yang mengering
Luka kita membiru
Menunggu suatu ledakan
Memporak-porandakan mimpi anak negeri
Luka mengurungmu pertiwi
***
haruskah luka itu aku belah
atau aku lubangi
jangan!
Lebih baik kita bungkam
Biar tidak terdengar nyaring
Menunggu sampai sakit mereda
Menunggu tabib mujarab datang
Menunggu sampai keajaiban menyapamu
***
Bunda sekarang…
Engkau hanya bisa menangisi nasib
Karena perjalanan yang salah
Pijakan yang rapuh
Tak sanggup engkau bersenandung
Tentang eloknya negerimu
Tentang ramah tamah penghunimu
Gemah ripah loh jinawi
Toto tentrem kerto raharjo
Masihkah rayuan pulau kelapamu melambai-lambai
Masihkah dari Sabang sampai Mauroke berjajar pulau-pulau
Masihkah negerimu bagai mutiara mutumanikam
Apakah tunas bangsa muncul bagai jamur dimusim hujan
Atau semakin hanyut terbawa banjir
***
Dengar…
Dengarkan…
Dengarkan sebentar…
Mereka benyanyi atas nama cinta
Mereka bersenandung atas nama kebersamaan
Mereka menembangkan atas nama penderitaan negeri
Bodoh!
Kata siapa?
Mereka mencintai atas nama posisi pribadi
Mereka bersatu karena kepentingan diri yang dimainkan
Mereka menderita atas persamaan nasib
Ya, mereka hanya ingin tahu nasib baiknya sampai dimana?
***
Bunda..
Senandungmu tak mampu jebolkan gendang telinganya
Bahkan mereka tertidur pulas
Menanti esok dengan lagu-lagu yang sama
Sebenarnya ini salah siapa?
Siapa yang curang ?
Siapa yang khianat?
Ya, akhirnya kita akan terus bertanya
Kenapa kita biarkan luka itu membusuk
Smg, 200598
DARI SEBUAH DONGENG
(Noer Lutfi)
“ Tak..lelo..lelo..lelole gung
putraku sing bagus dewe
mbesuk gade dadi o wong guno
mbangun negoro tujuan mulyo”
masih terdengar irama gending dalam mimpiku
masih tercium wangi bau tanahku
masih bertalu lesung padi ibuku
Diberanda sore menunggu purnama
Bapakku bertutur
Syair-syair
Legenda-legenda
Hikayat-hikayat
Cerita panji
bersama kita menembangkan “Padang Bulan”
kidung yang pernah menjaga malam
dari ancaman Bebendu
murkanya Bethoro Kolo
bersama kita pernah menghitung pagi
terik matahari diufuk timur
kicauan burung
gemercik air dari pancuran bambo
sekarang…
pupukku dirampok ditengah jalan
tengkulak merampas padiku
bandit berdasi merebut sejengkal tanahku
Hutanku gundul
Polusi Udaraku
Sungaiku tercemar
pejuang-pejuang kafir
menakar dan menimbang jasa
sebagai jaminan mengelak tudingan
“mereka berjuang atas nama rakyat”
Bohong!!
Pendusta!!
Penipu!!
Kembalikan surgaku yang kau curi
Kembalikan alamku seperti dulu
Disini bukan arena debat persoalkan salah siapa?
Disini tempat kami
Kami butuh bukti nyata bukan janji
April 1994
TANGAN-TANGAN MUNGIL
(Noer Lutfi)
Sampai dimanakah kita ini
Jauh..sangat jauh untuk menepi
Pada tangan-tangan mungil
Aku sampaikan salamku
Menangkap kembang dirgahayu
Yang berkurang makna
Penghormatan jasa pejuang
yang sia-sia
kekerasan
penghianatan
pemerkosaan hak
menjadi dominasi hitam dibenakmu
warna pelangi memudar
kau biarkan hatimu berkecamuk
Sampai dimanakah kita ini
Jauh..sangat jauh untuk menepi
Pada tangan-tangan mungil
Aku sampaikan salamku
Biarkan mereka melukis hari esok
Dengan warna-warna yang mereka sukai
Aku berharap
Kebencian bukan milik mereka
Dendam bukan rasa mereka
Kedengkian bukan sifat mereka
Bukan perbedaan yang dibanggakan
Tapi keanggunan rasa mengerti
Bukan orasi yang meracuni
Tapi pencapaian nurani untuk saling menghargai
Biarkan mereka merapat senandung negeri
Biarkan mereka berjanji padamu negeri
Sampai dimanakah kita ini
Jauh..sangat jauh untuk menepi
Pada tangan-tangan mungil
Aku sampaikan salamku
Trilyunan hasil bumi menguap
Terbawa angin perubahan
Mengenyangkan segelintir
Bukti rakyat ini makmur
Bukan..bukan itu ukuran negeri
Itu kalkulasi dari rincian otak kotor
Menyulap kusam menjadi kemilau
Yang memilaukan
Membuat mata kita perih
Sakit..
Sampai dimanakah kita ini
Jauh..sangat jauh untuk menepi
Pada tangan-tangan mungil
Aku sampaikan salamku
Smg, 180801
TIDAK LAYAK DISIMAK
(Noer Lutfi)
Status aku mainkan dalam panggung jaman
Pondasi mengenal
dan memiliki
Tetapi itu bukan ukuran mutlak
Sebab….
kita terjebak pernyataan-pernyataan
Yang menggiring
Menjadi produk
Dari doktrin-doktrin kuno
Yang seharusnya tidak lagi diperdengarkan
Atau dilihat
***
Ongkos mengenang terlalu mahal
Hanya meninggalkan rasa haru
Tak mampu menghadirkan kembali
Gelora masa lalu
Aku kirimi rangkaian bunga
Atas wafatnya
Pergerakan
Keranda hitam untukmu!
Pati, 140305