Jumat, 30 Januari 2009

Aloeth : BURUNG BANGKAI

BURUNG BANGKAI

(Noer Lutfi)

Kemarin burung bangkai

Berebut tulang-tulang kehidupan

Matahari menatap nanar sudut kota

Meneriakan suara

gemuruh

Menggulung seperti gelombang

Ada kebekuan Menekan

*

Hari ini burung bangkai

Berebut iga-iga masa lalu

Mendung menghadang matahari

Ada janji mengkristal di atas ranting

**

Esok burung bangkai

Mencuri telur-telur kehidupan

Membius impian semu

Bertransaksi kesepian

Mendulang kesunyian rasa pesimis.

Smg, 12 Mei 1994


PAK TUA DAN STICK GOLF

(Noer Lutfi)

Temaram lampu teplok dari gubug reot

Menjadi saksi tangis

Menjadi saksi teriakan histeris

Menjadi saksi suara-suara sumbang yang tak beraturan

Tendangan sepatu aparat mengenai ulu hati

Pukulan pak camat membirukan mata kiri

Tamparan muspika membuat dua gigi rontok

Segenggam tembakau dari puluhan putung rokok

Lintingan tersulut

Mengepul asap dari mulutnya

Menatap bintang jasa sisa revolusi

***

kenangan terlintas

padi menguning siap di panen

istri setia menunggu digubug

membawa kendi dan bakul nasi

dua anaknya berlari-lari dipematang

menirukan burung alap-alap

melayang dilangit biru

****

Demi pembangunan atas negeri ini

ia rela menjadi badut

mempropagandakan kemakmuran

adil dan merata

stick golf gantikan cangkul

terseok-seok memukul bola

terkapar ia ditanah

nafasnya hampir putus

dari mulutnya keluar dua bola putih

Smg, Agustus 1994


SERDADU TUA

(Noer Lutfi)

Serdadu tua bungkuk

menerawang langit

Seperti mata panah

Meluncur lembaran-lembaran usang

Ikrar penuhi ruangan kenduri

Pesta anak negeri pertanyakan

Kemerdekaan dibangunkan

untuk kedua kalinya

dari belenggu mimpi menyesatkan

Sebotol arak menepis dahaga

Tawa genit pelacur menempel dibenak

***

Serdadu tua bungkuk

Kepalkan tangan ke atas

Hirup sisa nafas keperkasaan

Kenangan tak meninggalkan kafan

Untuk dilukis kerabatnya

Menelusuri jejak-jejak kaki

Yang Terhapus air hujan

Cermin retak

Wajah Bopeng membuat batik

Catatan-catatan pengkhianatan

dari kegetiran nasib

***

Serdadu Tua menggelinding

Dari atas menuju lembah

Berputar menerjang ilalang

Melindas pohon hingga tumbang

Menghancurkan batu karang

Membelah gunung-gunung

Menguras samudra

Kini tlah lahir fiksi

Dari embrio hidup

Yang mereka puja

Sebagai hikayat ampuh sekelas mantra

Mereka lalai kebenaran

Yang kelak diwariskan

****

Serdadu tua berharap

menatap matahari di atas pelangi

ada cinta ditebarkan mendung

lewat rintik hujan

cinta berhembus dikolong jembatan

menemui anak kecil kelaparan

cinta menyapa aparat dengan bogem mentah

di muka maling kecil

cinta membelai hakim pincang

tersrimpung palu sendiri

cinta berbisik ditelinga ibu tua

“kamu tak secantik dulu”

cinta meniup di tempat pelacuran

bersama desah nakal

cinta masuk dipori-pori anak bangsa

kibarkan sang saka di langit biru

meski tlah kusam dan robek

ada cinta bersama kibasan-kibasanya.

10 November 1994


LAGU LUGU BERLAGU

(Noer Lutfi)

Na..na..na..

Rasa saling se-iya sekata

Takkan lagi ada

Harapan Serumpun

saling memiliki sirna

Inikah kematangan diri

atau globalisasi dini

ego berkata hak

bernyanyi demokrasi

Na..na..na..

Di bumi para bidadari turun

berdemo telanjangkan diri

ini dada ranum yang disajikan surga

reguklah cawan ini

anggur dari sungai nirwana

sang dewa pun tanggalkan syahwat

di pagar-pagar pinggir jalan

lindung teduh di pohon Quldi

Na...na..na...

Masuklah ! Pintu kubuka lebar

inilah jalan keselamatan

mengajilah pada kejujuran hidup

renungkan ketulusan bola mata anakmu

sangsikan kebenaran

Na.. na..na..

bisakah kita duduk disini bersama

bincang esok

tentang anakmu

anakku

anak-anak kita

Skj 160505


DER LETZTE

(Noer Lutfi)

Mereka genggam bara

Di berikan padamu

Berjanji bukan menghakimi

hilang untuk diyakini

ada untuk didustai

Apakah terbukti lagumu

Menyentuh mereka

Nyanyian mereka

memekakkan telingamu

mereka paham betul keinginanmu

apakah sudah kau pahami

keinginan mereka.

**

Ketika pesta dirayakan

Kau rampas suara-suara mereka

Kau lontarkan menjadi peluru-peluru tajam

Setelah pesta usai

Kau lupakan suara-suara mereka

Kau jadikan peluru-peluru tumpul

tak mampu menembus

Angka-angka keberuntungan

***

Tiang-tiang itu mengantung

Bergesek

Bersentuhan

Hasilkan bunyi

mereka datangi mimpi-mimpimu

mereka cabuti bulu-bulumu

Smg, 040605


LANDUNG

(Noer Lutfi)

Musim orang sakit

Tersakiti

Nyanyian surga kunci telinga

terjang kelam

Rindang pohon jalang

Tumbang

Mereka Yang sehat

Bertanya pada yang merintih

Yang gila

Menertawai yang waras

Yang isi

Mengharapkan yang alpa

Yang sadar

Menginginkan terlena

***

Yang musnah

Yang punah

Yang lenyap

Yang senyap

Berdiri pada fajar

Diam

Sempit

Menelusup rona merah langit

Menyambut kau kembali

Menikmati lazuardi

Untuk Ber-Aku-aku lagi..

Kau reguk habis doa-doa

Atau bermeditasi menantang matahari

Skj140503



REDGLASS

(Noer Lutfi)

Roh kebebasan

Membelai pucuk-pucuk ilalang

Hentakan tarian cinta

Dendangkan pujian semesta

Ayolah melanting

Tembuslah langit biru

Duduklah disinggasananya

Iblis bernyanyi untukmu

Setan-setan menari

Orasi-orasi dipelacurkan

Berita TV, radio, koran-koran, dipelacurkan

Diskusi, seminar, rapat-rapat dipelacurkan

Ayat-ayat dipelacurkan

Agama dipelacurkan

Apalagi yang bisa dipelacurkan?

***

Pinjamkan kedua tanganmu

Pinjamkan kedua bola matamu

Pinjamkan kedua telingamu

Pinjamkan hidung dan mulutmu

Pinjamkan hatimu

Untuk melihat lampu-lampu zaman

Sentuhlah paling dalam

Rahasia ?

Rahasia Tuhan tlah dicuri

Ada yang menyekutukan Tuhan

Membangun tembok-tembok kekuasaan

Mengatur

Meramal nasib sahabatku

Skj, 140503



MAAF KAMI

(Noer Lutfi)

Tangis kesedihan

pernah diratapi Alexandrian Callimachus

pada jiwa-jiwa resah

Sampaikan maaf kami

Tak meneruskan nafasmu

Usia menggrogoti fisik

Tergambar dibenak

Wajah-wajah manis dirias tangis

Pralambang kembang hati dibejana romantis

Wajah-wajah sendu terbelenggu kata ragu

Coba ungkap rindu

Wajah-wajah kaku

Mirip kardus

Kadang mirip kaleng

Masuk dilini pertahanan

Berebut

Singkirkan

Wajah-wajah hipokrit

gunakan ambiguitas tak jelas

Hingga mata kami tak sanggup

Mengenali diri kami sendiri

Kemurungan jiwa

Tlah memusatkan kematian

Smg Januari 1998

OPERA TANDING #1

(Noer Lutfi)

Gelombang dasyat menghantam

Menggulung setiap sisi

Kikis ruang-ruang

Racuni soneta

Meletakan okestra di gudang tua

Dimana dikau nurani?

Masih singgahkah kau?

Atau dikau lari

Bersembunyi

Hindari tikaman suara-suara sumbang

***

Lubang terbuka

Alunan heroik bakar sukma

Menanti mangsa Siap disantap

Jeruji besi rapikan barisan

Membuat kalangan

Kekuatan beradu

Saling menjatuhkan

Mereka mati sia-sia

Ini rimba liar

Arena penjagalan massal

Kuasa didewakan

Kejujuran mulut-mulut pendusta

September 2002


OPERA TANDING #2

(Noer Lutfi)

Suara Bising Menyayat

Membuat luka bernanah

Gumpal aniaya

Ketidakberdayaan

Memutuskan urat nadi

Tak mampu lafalkan abjad negeri sendiri

Mau mereka bawa kemanakah negeri ini?

Hingga terlempar jauh

Terdampar di pulau buta tuli bisu

***

Nyaringkan nyali

hentakan irama apa saja

mengiringi ritual

tak menyodok mereka dipihak mana?

Kita bernyanyi anak negeri

September 2002



KIDUNG KINANTI 99

(Noer Lutfi)

Ora ono kang biso agawe tentrem ing ati

Kajobo yen siro biso manembah

Marang Gusti kang murbehing dumadi

Koyo dene wayangane

Rembulan ing wanci purnomo sidi

Kang katon ing sak jeroning

Banyu menep kang wening

(khoyun..khoyuning seto..khoyuning Qolbun 3x)

Pekat..

Langit bawa mendung berarak

Bintang enggan bercengkrama

Rintik jatuh basah tanahku

Ada apa malam?

Lelahkah?

Angin menusuk pada ruang-ruang kalbu..

Jauh..!

berhembus di samudra cinta

Bidadari menari balet disinggasana rembulan

Meliuk-liuk

Hingga raja dan ratu bersemayam

Dipelaminan jiwa

Seruling malam cipta hening

Ijinkan kami terbang melintas

Menunggu fajar tiba…

Smg, 010199


AKU TAHU

(Noer Lutfi)

Aku tahu

Peluru tlah menembus

Membuat lubang menganga

Luka !

Perih !

Pada kesaksian mentari

kabarkan cerita mati

Hitam-putih

Gelombang meneriakan kebebasan

Meskipun angin murung

Tak mampu bercerita lagi

Anak bangsa tersudut lesu

Terpleset dari gerbong

antarkan mimpi warna pelangi

Tersesat di rimba

Meloncat-loncat

Memetik buah

dari perjalanan sejarah bangsa

***

Aku tahu

Peluru tlah menembus

Membuat lubang menganga

Luka !

Perih !

Dewi langit tlah usai menangis

Mengguyur sayatan

Semakin perih

Pertiwi tak lagi bersenandung

Tembangkan kidung

Bangunkan pagi

atau

Menidurkan malam

Membisu

Terdengar derap langkah

Sepatu-sepatu boots

Menghantam

Menendang

Membuat gerimis

Dari tangis teraniaya

seperti irama menjemput kematian

***

Laras senapan memberi komando

intruksi

Robohkan

Injak

Dan lupakan

Berpadu teriakan-teriakan

Yang memilukan

Aku tahu

Peluru tlah menembus

Membuat lubang menganga

Luka !

Perih !

Skj,190804


DAUN KAMI

(Noer Lutfi)

Ketika angin berhembus

Menyibak dedaunan

Tembang Mistik dilantunkan memilu

Menepilah…

Aku mau lewat

biarkan kami melayang

Menembus…lubang-lubang untuk bernafas

Sebab kami terperangkap di ruang hampa

Bergoyanglah daunku

Biarkan yang rontok bercerita

Bahwa kami pernah bersatu menciptakan hijau

Meski kini kering tak memberi sejuk

Tapi pernah menggores catatan

pada batangmu yang mulai rapuh

***

benih-benih yang aku sebarkan

mulai tumbuh menjadi tunas-tunas

siap menerjang pilar-pilar yang menghadang

biarkan akar itu menjalar

di sisi ruas-ruas jalan

di sudut-sudut kota..

biarkan kami yang bicara..

biarkan kami yang mengantarmu

untuk menemui mentari..

di nafasmu terletak martabat bangsa

tarik

hembuskan sesuai irama yang bergulir

ikuti hentakan jaman

Smg, Januari 1998


SORE ITU….

(Noer Lutfi)

Sore itu hujan belum reda

Bocah kecil bertopang dagu

Kerempeng bertelanjang dada

Rambutnya basah Menahan lapar

Berlari merebut tas hitam milik Nyonya gendut

Copet..copet..” kening bocah berdarah dihantam massa

Sang nyonya menghardik

Dipukuli bocah itu dengan sandal kulit

Yang harganya sama dengan dua kali nyawa maling kecil

Sang nyonya jengkel

Diinjak tangannya dengan tumit sandal kulit

Yang harganya sama dengan samudra tangis maling kecil

Sang nyonya semakin kalap

Ditendang perut dengan pucuk sandal kulit

Yang harganya sama dengan rintih lapar maling kecil

Bocah itu terkapar lemas

Mulutnya tersumpal dua puluh ribuan

Selamat Sore Tuhan” cerita telah berlangsung

sepotong doa terselip dimulutnya

Ia tulis surat dihati buat Tuhan

Aku ingin bertanya pada-Mu Tuhan? Aku terlahir hanya sebagai pelengkap saja. Aku dijadikan yang selalu serba salah dan kalah. Dimanakah Dikau Tuhanku? Inikah keadilanMu Tuhan?

Kenapa aku harus memiliki rasa? Kenapa Dikau tak membelaku?”

***

Bocah kecil itu mati

Didekat tong sampah halte Bus

Sementara Kota dan lalu lalangnya

Melanjutkan cerita

Sore itu hujan belum reda

Smg, Mei 1994




TRANSISI

(Noer Lutfi)

Tumbuh kembang bakung menghias sudut ruang senja itu

terbaring tubuhmu luluhkan batin di keheningan waktu

terlepas benih iba saat menatap garis-garis diwajahmu

tergores pahit luka masa lalu

langkahmu pelan tak setegar dahulu

kini hanya namamu dan sepotong dongeng

dari hari-hari lalumu

***

Bintangmu terasa berat membawa beban hidup

Terbelenggu dalam diam

Tenggelam bersama tumbuhnya tunas baru

Kematian adalah pembebasan

Dimana lingkaran itu mulai pecah?

Entahlah?

Kudus, April 1994




ANGSANA DIRI SOCA

(Noer Lutfi)

Biarkan aku lebur di warna semu

Biarkan aku hancur bersama kehangatan nafasku

Biarkan aku berteriak dengan pikiranku

Biarkan aku menari dengan mulutku

Biarkan aku mencium dengan mataku

Biarkan aku menatap dengan hidungku

Dan biarkan aku apa saja dengan aku-ku sendiri

Aku biarkan angan liar menjilat-jilat ruang dan waktu

Meski darahku keluar dari mataku

Meski ingusku keluar dari mataku

Meski maniku keluar dari mataku

Meski curekku keluar dari mataku

Meski taiku keluar dari mataku

Biar aku bebas melayang

Smg, Desember 1997




DUKA LUKA-LUKA

(Noer Lutfi)

Masih banyak luka yang harus disembuhkan

Luka kita semakin membusuk

Tertutup kulit yang mengering

Luka kita membiru

Menunggu suatu ledakan

Memporak-porandakan mimpi anak negeri

Luka mengurungmu pertiwi

***

haruskah luka itu aku belah

atau aku lubangi

jangan!

Lebih baik kita bungkam

Biar tidak terdengar nyaring

Menunggu sampai sakit mereda

Menunggu tabib mujarab datang

Menunggu sampai keajaiban menyapamu

***

Bunda sekarang…

Engkau hanya bisa menangisi nasib

Karena perjalanan yang salah

Pijakan yang rapuh

Tak sanggup engkau bersenandung

Tentang eloknya negerimu

Tentang ramah tamah penghunimu

Gemah ripah loh jinawi

Toto tentrem kerto raharjo

Masihkah rayuan pulau kelapamu melambai-lambai

Masihkah dari Sabang sampai Mauroke berjajar pulau-pulau

Masihkah negerimu bagai mutiara mutumanikam

Apakah tunas bangsa muncul bagai jamur dimusim hujan

Atau semakin hanyut terbawa banjir

***

Dengar…

Dengarkan…

Dengarkan sebentar…

Mereka benyanyi atas nama cinta

Mereka bersenandung atas nama kebersamaan

Mereka menembangkan atas nama penderitaan negeri

Bodoh!

Kata siapa?

Mereka mencintai atas nama posisi pribadi

Mereka bersatu karena kepentingan diri yang dimainkan

Mereka menderita atas persamaan nasib

Ya, mereka hanya ingin tahu nasib baiknya sampai dimana?

***

Bunda..

Senandungmu tak mampu jebolkan gendang telinganya

Bahkan mereka tertidur pulas

Menanti esok dengan lagu-lagu yang sama

Sebenarnya ini salah siapa?

Siapa yang curang ?

Siapa yang khianat?

Ya, akhirnya kita akan terus bertanya

Kenapa kita biarkan luka itu membusuk

Smg, 200598




DARI SEBUAH DONGENG

(Noer Lutfi)

“ Tak..lelo..lelo..lelole gung

putraku sing bagus dewe

mbesuk gade dadi o wong guno

mbangun negoro tujuan mulyo”

masih terdengar irama gending dalam mimpiku

masih tercium wangi bau tanahku

masih bertalu lesung padi ibuku

Diberanda sore menunggu purnama

Bapakku bertutur

Syair-syair

Legenda-legenda

Hikayat-hikayat

Cerita panji

bersama kita menembangkan “Padang Bulan”

kidung yang pernah menjaga malam

dari ancaman Bebendu

murkanya Bethoro Kolo

bersama kita pernah menghitung pagi

terik matahari diufuk timur

kicauan burung

gemercik air dari pancuran bambo

sekarang…

pupukku dirampok ditengah jalan

tengkulak merampas padiku

bandit berdasi merebut sejengkal tanahku

Hutanku gundul

Polusi Udaraku

Sungaiku tercemar

pejuang-pejuang kafir

menakar dan menimbang jasa

sebagai jaminan mengelak tudingan

“mereka berjuang atas nama rakyat”

Bohong!!

Pendusta!!

Penipu!!

Kembalikan surgaku yang kau curi

Kembalikan alamku seperti dulu

Disini bukan arena debat persoalkan salah siapa?

Disini tempat kami

Kami butuh bukti nyata bukan janji

April 1994


TANGAN-TANGAN MUNGIL

(Noer Lutfi)

Sampai dimanakah kita ini

Jauh..sangat jauh untuk menepi

Pada tangan-tangan mungil

Aku sampaikan salamku

Menangkap kembang dirgahayu

Yang berkurang makna

Penghormatan jasa pejuang

yang sia-sia

kekerasan

penghianatan

pemerkosaan hak

menjadi dominasi hitam dibenakmu

warna pelangi memudar

kau biarkan hatimu berkecamuk

Sampai dimanakah kita ini

Jauh..sangat jauh untuk menepi

Pada tangan-tangan mungil

Aku sampaikan salamku

Biarkan mereka melukis hari esok

Dengan warna-warna yang mereka sukai

Aku berharap

Kebencian bukan milik mereka

Dendam bukan rasa mereka

Kedengkian bukan sifat mereka

Bukan perbedaan yang dibanggakan

Tapi keanggunan rasa mengerti

Bukan orasi yang meracuni

Tapi pencapaian nurani untuk saling menghargai

Biarkan mereka merapat senandung negeri

Biarkan mereka berjanji padamu negeri

Sampai dimanakah kita ini

Jauh..sangat jauh untuk menepi

Pada tangan-tangan mungil

Aku sampaikan salamku

Trilyunan hasil bumi menguap

Terbawa angin perubahan

Mengenyangkan segelintir

Bukti rakyat ini makmur

Bukan..bukan itu ukuran negeri

Itu kalkulasi dari rincian otak kotor

Menyulap kusam menjadi kemilau

Yang memilaukan

Membuat mata kita perih

Sakit..

Sampai dimanakah kita ini

Jauh..sangat jauh untuk menepi

Pada tangan-tangan mungil

Aku sampaikan salamku

Smg, 180801




TIDAK LAYAK DISIMAK

(Noer Lutfi)

Status aku mainkan dalam panggung jaman

Pondasi mengenal

dan memiliki

Tetapi itu bukan ukuran mutlak

Sebab….

kita terjebak pernyataan-pernyataan

Yang menggiring

Menjadi produk

Dari doktrin-doktrin kuno

Yang seharusnya tidak lagi diperdengarkan

Atau dilihat

***

Ongkos mengenang terlalu mahal

Hanya meninggalkan rasa haru

Tak mampu menghadirkan kembali

Gelora masa lalu

Aku kirimi rangkaian bunga

Atas wafatnya

Pergerakan

Keranda hitam untukmu!

Pati, 140305